Rasakan... Kita di lingkaran... "...Berdiri di lingkaran, melihat, mendengar, merasakan, membaca, menulis, mencoba berbagi..."

Minggu, 06 September 2009

“Ilmu-Ilmu Alquran : Pengertian, Pertumbuhan, dan Perkembangannya”

9/06/2009 09:49:00 AM Posted by Ady'S No comments


 

Alquran adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah saw. untuk mengeluarkan manusia dari suasana gelap menuju terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah saw. menyampaikan Alquran kepada para sahabatnya, orang Arab asli, sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Bila mereka mengalami ketidakjelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya kepada Rasulullah saw.

Bukhari, Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud yang berkata, "Ketika ayat yang artinya, "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman"
diturunkan, banyak orang yang merasa resah. Mereka kemudian menanyakannya kepada Rasulullah saw., "Ya Rasulullah saw. siapakah di antara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya?" Nabi menjawab, "Kezaliman di sini bukan seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hamba Allah yang shalih, "Sesungguhnya kemusyrikan adalah kedzaliman yang besar."
(Luqman: 13). Jadi yang dimaksud dengan kezaliman di sini adalah kemusyrikan."

Disamping itu, Rasulullah saw. juga menafsirkan untuk mereka beberapa ayat. Dalam riwayat Muslim dan yang lainnya dari Uqbah bin Amir berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah saw. berkata di atas mimbar yang artinya, "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi." (Al-Anfal: 60) Ingatlah bahwa kekuatan di sini adalah memanah."

Para sahabat sangat antusias untuk menerima Alquran dari Rasulullah saw., menghafal dan memahaminya. Ini merupakan suatu kehormatan bagi mereka. Anas r.a. berkata, "Seseorang di antara kami bila telah membaca surat Al-Baqarah dan Ali Imran, orang itu menjadi besar dalam pandangan kami." Begitu pula mereka selalu berusha mengamalkan Alquran dan memahami hukum-hukumnya.

Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami yang mengatakan, "Mereka yang membacakan Alquran kepada kami, seperti Utsman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud serta yang lain menceritakan bahwa bila mereka belajar dari Nabi sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada di dalamnya. Mereka berkata: "Kami mempelajari Alquran berikut ilmu dan amalnya sekaligus"

Rasulullah saw. tidak mengizinkan mereka menuliskan sesuatu dari dirinya selain Alquran, karena beliau khawatir akan tercampur dengan yang lain.

Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kamu tulis dari aku. Barang siapa menulis dari aku selain Alquran, hendaklah dihapus. Dan, ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan baginya. Dan barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, ia menempati tempatnya di api neraka."

Sekalipun setelah itu Rasulullah saw. mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadis, tetapi hal yang berhubungan dengan Alquran tetap didasarkan pada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah saw. di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar ra.

Kemudian datang masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. dan keadaan menghendaki, seperti yang akan kami jelaskan nanti, untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Dan hal itu pun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf imam. Salinan-salinan mushaf itu juga dikirimkan ke beberapa propinsi. Penulisan mushaf tersebut disebut Ar-Rasmu al-Utsmani yaitu dinisbatkan kepada Utsman. Dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu rasmil quran.

Kemudian datang masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a. dan atas perintahnya, Abul Aswad ad-Du'ali meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku serta memberikan ketentuan-ketentuan harakat pada Alquran. Ini juga dianggap sebagai permulaan i'rabil quran.

Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna Alquran dan penafsiran ayat-ayatnya yang berbeda-beda di antara mereka, sesuai dengan kemampuan mereka yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah saw. hal yang demikian diteruskan oleh murid-murid mereka yaitu para tabi'in.

Di antara para mufassir (ahli tafsir) yang termasyhur dari kalangan sahabat adalah empat orang khalifah, kemudian Ibnu Mas'ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka'ab, Abdurrahman bin Auf , Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asyari dan Abdullah bin Zubair.

Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas dan Ubai bin Ka'ab. Dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti sudah merupakan tafsir Alquran yang sempurna, tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran tentang apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi'in, di antara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.

Di antara murid-murid Ibnu Abbas di Mekah yang terkenal ialah Sa'id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, bekas sahaya (maula) Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan al-Yamani dan Atha' bin Abi Rabah.

Sementara di antara murid-murid Ubay bin Ka'ab yang terkenal di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah dan Muhammad bin Ka'ab al-Qurazi.

Diantara murid-murid Abdullah bin Mas'ud di Irak yang terkenal adalah al-Qamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Amir Asy-Sya'bi, Hasan al-Basri, dan Qatadah bin Di'amah as-Sadusi.

Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun mengenai ilmu tafsir, orang yang paling tahu adalah penduduk Mekah, karena mereka sahabat Ibnu Abbas, seperti Mujahid, Atha' bin Abi Rabah, Ikrimah maula Ibnu Abbas lainnya seperti Thawus, Abusy-Sya'sa, Said bin Jubair dan lain-lainnya. Begitu pula penduduk Kufah dari sahabat Ibnu Mas'ud dan mereka itu mempunyai kelebihan dalam ilmu tafsir diantaranya adalah Zubair bin Aslam; Malik dan anaknya Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb, mereka berguru kepadanya.

Dan yang diriwayatkan dari mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu gharibil quran, ilmu makki wal madani dan ilmu nasikh dan mansukh. Tetapi semua ini didasarkan pada riwayat dengan cara di diktekan.

Pada abad kedua hijriyah tiba masa pembukuan (tadwin) yang yang dimulai dengan pembukuan hadis dengan segala babnya yang bermacam-macam dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan dengan tafsir. Maka sebagian ulama membukukan tafsir quran yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. dari para sahabat atau dari para tabi'in.

Di antara mereka itu, yang terkenal adalah Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117 H), Syu'bah bin Hajjaj (wafat 160 H), Waki' bin Jarrah (wafat 197H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198) dan Abdurrazaq bin Hammam wafat 112)

Mereka semua adalah para ahli hadits. Sedang tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namun tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ketangan kita.

Kemudian langkah mereka itu diikuti oleh segolongan ulama. Mereka menyusun tafsir Alquran yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang paling terkenal di antara mereka ada Ibn Jarir at-Thabari (wafat 310 H)

Demikianlah, tafsir pada mulanya dinukil (dipindahkan) melalui penerimaan (dari mulut ke mulut) dari riwayat; kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadis; selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses kelahiran tafsir bil ma'tsur(tafsir berdasarkan riwayat), lalu diikuti oleh at-tafsir bir ra'yi (tafsir berdasarkan penalaran)

Disamping ilmu tafsir, lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan Alquran, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufassir (ahli tafsir).

Ali bin al-Madini (wafat 234 H) yang merupakan guru Bukhari menyusun karangan tentang asbaabun-nuzuul. Abul Ubaid al-Qasim bin Salam (wafat 224) menulis tentang naasikh wal mansuukh dan qira-at.

Ibnu Qutaibah (wafat 276 H) menyusun tentang problematika quran (musykilaatul quraan). Mereka semua termasuk ulama abad ke tiga hijriah.

Muhammad bin Khalaf bin Marzaban (wafat 309 H) menyusun al-Haawi wa uluumil quraan.

Abu Muhammad bin Qasim al-Anbari (wafat 751 H) juga menulis tentang ilmu-ilmu quran.

Abu Bakar as-Sijistani (wafat 330 H) menyusun Ghariibul quraan.

Muhammad bin Ali al-Adfawi (wafat 388 H) menyusun al-Istighna' fii 'uluumil quraan.

Mereka ini adalah ulama-ulama abad keempat hijri.

Dan, sesudah itu kegiatan karang-mengarang dalam ilmu quran terus berlangsung.

Abu Bakar al-Baqalani (wafat 403 H) menyusun I'jaazul quraan, dan Ali Ibrahim bin Said al-Hufi (wafat 430 H) menulis mengenai i'rabul quraan. Al-Mawardi (wafat 450 H) mengenai tamsil tamsil dalam quran (amtsaalul quraan). Al Izz bin Abdussalam (wafat 660 H) tentang majaz dalam alquran. Alamudin as-Sakhawi (wafat 643 H) menulis mengenai ilmu qiraat (cara membaca alquran), dan Aqsaamul quraan. Setiap penulis dalam karangannya itu menulis bidang dan pembahasan tertentu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu quran.

Syaikh Muhammad Abdul Aziz az-Zarqani menyebutkan dalam kitabnya Manaahilul 'Irfaan fii Uluumil Quraan bahwa ia telah menemukan dalam perpustakaan Mesir sebuah kitab yang ditulis oleh Ali bin Said yang terkenal dengan Al-Hufi, judulnya al-Burhaan fii Uluumil Quraan yang terdiri dari tiga puluh jilid. Dari ketiga puluh jilid itu ada lima belas jilid yang tidak tersusun dan tidak baerurutan. Pengarang membicarakan ayat-ayat Alquran menurut tertib mushaf. Dia membicarakan ilmu-ilmu Alquran yang terkandung ayat itu secara sendiri, masing-masing diberi judul sendiri pula, dan judul yang umum disebutkan dalam ayat, dengan menuliskan Alqaul fii qaulihi 'Azza wa Jalla (pendapat mengenai firman Allah ), lalu disebutnya ayat itu. Kemudian di bawah judul ini dicantumkan Alqaul fii al-Ii'rab (pendapat mengenai morfologi). Di bagian ini ia membicarakan ayat dari sisi nahwu dan bahasa. Selanjutnya Al-qaul fil ma'na wat tafsiir (pendapat mengenai makna dan tafsirnya). Di sini ia jelaskan ayat itu berdasarkan riwayat (hadis) dan penalaran. Setelah itu Al-qaul fil waqfi wal tamam (pendapat mengenai tanda berhenti dan tidak). Disini ia menjelaskan tentang waqaf yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Terkadang qira'at diletakkan dalam judul tersendiri, yang disebutnya dengan Al-qaul fil qira'at (pendapat mengenai qira'at). Kadang ia berbicara tentang hukum-hukum yang diambil dari ayat ketika ayat dibacakan.

Dengan metode seperti ini, al-Hufi dianggap sebagai orang pertama yang membukukan Ulumul Quran(ilmu-ilmu quran), meskipun pembukuannya memakai cara tertentu seperti disebutkan tadi. Ia wafat pada tahun 330 Hijriyah.

Kemudian Ibnul Jauzi (wafat 597 H) mengikutinya dengan menulis sebuah kitab berjudul Fununul Afnan fi Ajaa'ibi Uluumil Quran.

Lalu tampil Badrudin az-Zarkasyi (wafat 794 H) menulis sebuah kitab dengan judul al-Burhan fi Uluumil Quran Jalaaludin al-Baqini (wafat 824 H) memberikan tambahan atas al-Burhan di dalam kitabnya Mawaaqi'ul Uluum min Maawaqi'in Nujum, Jalaludin as-Suyuti (wafat 911 H) juga kemudian menyusun kitab yang terkenal al-Itqan fi Uluumil Quraan.

Kepustakaan ilmu-ilmu Quran pada masa kebangkitan modern tidaklah lebih kecil daripada nasib ilmu-ilmu yang lain. Orang-orang yang menghubungkan diri dengan gerakan pemikiran Islam telah mengambil langkah yang positif dalam membahas kandungan Quran dengan metode baru pula, seperti I'jaazul Quraan yang ditulis oleh Mustafa Sadiq ar-Rafi'i, kitab at-Taswiirul Fanni fil Quran dan Masyaahidul Qiyamah fil Quran oleh Sayyid Qutb, Tarjamatul Quran oleh Syekh Mustafa al-Maraghi yang salah satu pembahasannya ditulis oleh Muhibuddin al-khatib, Mas'alatu Tarjaamatil Quran oleh Mustafa Sabri, an-Naba'ul Azim oleh Dr. Muhammad Abdullah Daraz dan Mukadimah Tafsir Mahasinut Ta'wil oleh Jalaaludin al-Qasimi.

Syekh Tahir al-Jazairi menyusun sebuah kitab dengan judul at-Tibyaan fii Uluumil Quran. Syekh Muhammad Ali Salamah menulis pula Manhaajul Furqaan fii Uluumil Quran; yang berisi pembahasan yang sudah ditentukan untuk fakultas ushuludin di Mesir dengan spesialisasi dakwah dan bimbingan masyarakat. Kemudian hal itu juga diikkuti oleh muridnya, Muhammad Abdul Azim az-Zarqani yang menyusun Manaahilul 'Irfaan fi Uluumil Quran. Kemudian Syekh Ahmad Ali menyusun Muzakkirat Uluumil Quran yang disampaikan kepada para mahasiswanya di fakultas usuludin jurusan dakwah dan bimbingan masyarakat.

Akhirnya muncul Mabaahits fii Uluumil Quran oleh Dr. Subhi as-Shaleh. Juga ustadz Ahmad Muhammad Jamal menulis beberapa studi sekitar masalah ma'idah dalam quran .

Pembahasan-pembahasan tersebut dikenal dengan sebutan uluumul quran dan kata ini kini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut.

Kata ulum jamak dari kata ilmu. Ilmu berarti al-fahmu wal idrak (paham dan menguasai). Kemudian arti kata ini berubah menjadi masalah-masalah yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiyah.

Jadi, yang dimaksud dengan ulumul quran ialah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan quran dari segi asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya Quran), pengumpulan dan penertiban Quran, pengetahuan tentang surah-surah Makkah dan Madinah, an-Nasikh wal Mansukh, al-Muhkam wal Mutasyaabih dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Alquran. Terkadang ilmu ini juga dinamakan usuulut tafsir (dasar-dasar tafsir), karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang mufasir sebagai sandaran dalam menafsirkan Alquran.

(Sumber: Mabaahits fii 'Uluumil Quraan, Manna' Khaliil al-Qattaan, (Buku Mabaahits fii 'Uluumil Quraan telah diterjemahkan dengan judul Studi Ilmu-Ilmu Quran oleh Drs. Mudzakkir AS dan diterbitkan oleh PT Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta.)

Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia)

0 komentar:

Posting Komentar

About Me

Foto Saya
Ady'S
Berdiri di lingkaran, melihat, mendengar, merasakan, membaca, menulis, mencoba berbagi...
Lihat profil lengkapku

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.